Kebahagiaan dalam Islam Letaknya pada Kerelaan Bukan Kepemilikan


Dalam kehidupan yang serba cepat dan materialistik ini, banyak manusia berlomba - lomba mengumpulkan harta, status, dan pencapaian duniawi. Namun, Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada seberapa banyak yang kita miliki, melainkan seberapa besar kerelaan dan keikhlasan yang kita tanamkan dalam hati. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa (kecukupan hati)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjelaskan dengan tegas bahwa nilai seorang hamba di sisi Allah tidak diukur dari harta bendanya, melainkan dari kelapangan hatinya dalam menerima takdir dan ketentuan-Nya.

Kerelaan (ridha) adalah bagian dari qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Orang yang qana’ah tidak memandang apa yang ada di tangan manusia lain, tetapi memfokuskan hati untuk mensyukuri nikmat Allah, sekecil apa pun itu. Allah ﷻ berfirman:

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجٗا ٢ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٖ قَدْرٗا ٣

"Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)." (QS. At-Talaq: 2–3)

Kerelaan menunjukkan bahwa seseorang meyakini sepenuhnya bahwa rezeki telah ditetapkan oleh Allah dan bahwa Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Inilah kebahagiaan yang bersumber dari keyakinan, bukan dari perbandingan sosial.

Ketika seseorang mengukur kebahagiaan dari apa yang dimiliki orang lain, maka ia akan mudah terjebak dalam penyakit hati seperti iri dan hasad. Padahal, Rasulullah ﷺ memperingatkan bahwa hasad bisa membakar kebaikan sebagaimana api membakar kayu kering. Sebaliknya, dengan hati yang rela dan penuh syukur, seorang Muslim justru akan mendoakan kebaikan bagi saudaranya, tanpa merasa tersaingi atau dirugikan.

Rasulullah ﷺ adalah manusia paling mulia, namun beliau hidup dalam kesederhanaan. Rumah beliau sederhana, makanan beliau tidak berlebih, namun hatinya penuh keridhaan terhadap ketentuan Allah. Para sahabat seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman juga mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati lahir dari jiwa yang ikhlas, bukan dari tumpukan kekayaan. Umar bin Khattab pernah berkata:

"Aku tidak peduli dalam keadaan bagaimana aku berada, selama aku dalam keadaan Islam."

Inilah puncak kerelaan: menerima segala keadaan karena yakin bahwa Allah tidak mungkin menzalimi hamba-Nya. Ada juga sebuah maqolah 

الْسَّعَادَة لَيْسَت أن تَمْلِك أَكْثَر مِمَّا يَمْلِك الْنَّاس وَ لَكِن أَن تَرْضَى أَكْثَر مِمَّايَرْضَى الْنَّاس

"Kebahagiaan bukanlah karena engkau memiliki lebih banyak dari yang dimiliki orang lain, tapi kerelaanmu lebih banyak dari yang dimiliki orang lain"

Islam mengajarkan bahwa dunia hanyalah tempat singgah, bukan tujuan akhir. Maka, jangan letakkan kebahagiaanmu pada hal-hal yang fana. Letakkan kebahagiaan pada ridha terhadap takdir Allah, pada keikhlasan dalam menerima dan memberi, serta pada keyakinan bahwa Allah akan mencukupi hamba yang berserah diri kepada-Nya.

Kebahagiaan bukan karena engkau memiliki lebih banyak dari orang lain, tapi karena hatimu lebih rela, lebih syukur, dan lebih tunduk kepada Allah daripada yang lain.


Komentar

Postingan Populer