Orang Yang Tertipu

 

Dalam kehidupan beragama, tidak semua yang terlihat mulia di mata manusia benar-benar tinggi nilainya di sisi Allah. Ada kalanya seseorang tampak begitu rajin dan semangat dalam ibadah, namun ternyata ia sedang terjerumus dalam kelalaian yang tersembunyi. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam salah satu perkataannya yang penuh hikmah:

“Barang siapa yang tersibukkan dengan amalan wajib, sehingga dia meninggalkan amalan yang sunnah, maka dia dimaklumi oleh Allah. Dan barang siapa yang tersibukkan dengan amalan yang sunnah, sehingga dia meninggalkan amalan yang lebih wajib, maka dia adalah orang yang tertipu.”
(Fathul Bari, 11/345)

Ucapan ini mengajarkan kita tentang pentingnya menempatkan prioritas dalam beribadah. Ibadah memiliki tingkatan, dan Allah telah menetapkan amalan yang wajib sebagai hal yang paling utama. Ketika seseorang benar-benar sibuk dengan kewajiban—seperti shalat lima waktu, menafkahi keluarga, atau menuntut ilmu yang fardhu ‘ain—hingga tidak sempat mengerjakan amalan sunnah, maka itu adalah kondisi yang dimaklumi dan tidak tercela.

Namun sebaliknya, jika seseorang justru menggampangkan yang wajib demi menghidupkan yang sunnah, maka dia sedang tertipu oleh hawa nafsunya, meskipun ia mengira dirinya sedang berada di puncak ketakwaan. Ia sibuk shalat malam tapi melalaikan subuh, rajin puasa sunnah tapi tidak menunaikan zakat, atau aktif mengikuti majelis-majelis ilmu sementara ia belum menunaikan kewajiban rumah tangganya. Ini adalah bentuk kesalahan dalam memahami skala prioritas ibadah, dan dalam pandangan para ulama, ini adalah tipuan halus dari setan.

Contoh-Contoh Kekeliruan Ini dalam Kehidupan Sehari-hari

  • Seorang suami yang sibuk menghadiri kajian sunnah, tetapi mengabaikan kebutuhan istri dan anak-anaknya.

  • Seorang muslimah yang rajin tilawah setiap hari, tetapi belum menunaikan kewajiban menutup aurat dengan benar.

  • Seorang pemuda yang semangat berdakwah di media sosial, tetapi lalai dalam shalat lima waktu.

Perkataan Ibnu Hajar ini menyadarkan kita bahwa keikhlasan bukan hanya diukur dari banyaknya amalan, tetapi dari kecermatan kita dalam menunaikan apa yang Allah prioritaskan. Amal yang terbaik bukan selalu yang paling berat, tetapi yang paling sesuai dengan waktu, keadaan, dan tingkat kewajibannya.

Mari kita merenung: Apakah amalan yang selama ini kita kejar sudah sesuai dengan yang Allah dan Rasul-Nya prioritaskan? Jangan sampai kita termasuk orang yang rajin, tapi keliru. Semangat, tapi tertipu. Karena yang tertipu bukan hanya orang yang lalai, tetapi juga mereka yang sibuk dalam ibadah, namun keliru dalam menata prioritasnya.

Komentar

Postingan Populer