Hakikat Allah Mengenai Tempat Dan Arah


Dalam Islam, pemahaman tentang hakikat Allah terkait tempat dan arah didasarkan pada prinsip-prinsip teologi yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dan hadits, serta didalami oleh para ulama. Allah tidak terikat oleh tempat, ruang, atau arah. Allah Maha Esa, Maha Besar, dan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Dalam Surah Ash-Shura (42:11), Allah berfirman; 

فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّمِنَ الْاَنْعَامِ اَزْوَاجًاۚ يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِۗ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

 "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." 

Ini menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dibandingkan dengan apa pun dalam aspek ruang atau arah. Dalam aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, diyakini bahwa Allah ada tanpa memerlukan tempat atau arah. Ini berarti bahwa Allah ada sebelum penciptaan ruang dan waktu dan tidak membutuhkan keduanya untuk eksis. Secara keseluruhan, dalam Islam, Allah dipahami sebagai entitas yang transenden, tidak terikat oleh hukum-hukum fisik yang mengikat makhluk, termasuk tempat dan arah.

Memahami Allah secara harfiah berada di tempat atau arah tertentu dapat menimbulkan kekeliruan, karena ini menyamakan Allah dengan makhluk yang terbatas oleh ruang dan waktu. Dalam teologi Islam, salah satu keyakinan mendasar adalah bahwa Allah tidak terikat oleh tempat, ruang, atau arah. Ini berarti bahwa Allah tidak terpengaruh oleh dimensi fisik seperti makhluk-Nya. Sebagai contoh ada sebuah maqolah dalam kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin (Jilid 2 hal. 36) yang menjelaskan tentang Allah tidak terikat oleh tempat, ruang, atau arah.

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته

“Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”.

Maksudnya adalah bahwa Allah telah ada tanpa permulaan, disebut azali atau qadim, dan belum ada tempat seperti ‘Arasy, langit, bumi, dan segala makhluk lain nya. Allah ta’ala sudah sempurna dengan segala sifat-Nya yang azali sebelum ada apa pun selain-Nya. Sifat-sifat dzat Allah tidak lantas bertambah ketika Allah menciptakan makhluk-Nya. kemudian Allah menciptakan tempat, artinya bukan tempat Allah, tapi menciptakan makhluk-Nya. Imam Syafi’i berkata bahwa Allah tetap atas sifat azali-Nya, artinya sekalipun setelah ada makhluk-Nya, Allah tetap bersifat dengan sifat-sifat azali-Nya. Tidak ada sifat yang bertambah bagi Allah setelah adanya makluk-Nya. Karena sifat yang baru ada setelah adanya makhluk, itu juga termasuk makhluk. sebagaimana Allah ada sebelum adanya makhluk, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Begitu juga Allah dan sifat-Nya setelah adanya makhluk, tidak dapat memberi pengaruh apa pun terhadap dzat dan sifat Allah, Allah maha sempurna jauh sebelum adanya makhluk. “Tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”

 Allah adalah Maha Pencipta segala sesuatu, termasuk ruang dan waktu itu sendiri, sehingga tidak mungkin Allah dibatasi oleh sesuatu yang diciptakan-Nya. Oleh karena itu, konsep Allah dalam Islam adalah bahwa Dia ada di luar segala batasan yang mengikat makhluk-makhluk ciptaan-Nya, dan tidak terikat oleh konsep tempat, arah, atau ruang.

Pemahaman ini penting untuk menjaga kemurnian tauhid (keesaan Allah) dan menghindari kesalahpahaman yang bisa menjerumuskan kepada antropomorfisme, yaitu keyakinan yang menggambarkan Allah dalam bentuk atau sifat-sifat fisik yang serupa dengan makhluk-Nya.

Dengan demikian, Allah adalah Dzat yang Esa dan Mutlak, yang tidak serupa dengan apa pun dan tidak dibatasi oleh apa pun, termasuk tempat dan arah.

Komentar

Postingan Populer