Jalan Menuju Kedekatan Ilahi
Cinta adalah salah satu tema sentral dalam kajian tasawuf. Dalam tradisi tasawuf, cinta bukan hanya perasaan manusiawi, tetapi merupakan jalan spiritual yang membawa seseorang mendekati Allah. Para sufi, yang merupakan pengikut jalan tasawuf, sering menggambarkan cinta sebagai kekuatan yang menggerakkan hati menuju penyerahan diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta.
Cinta adalah modal seorang sufi dalam menapaki kehidupan spiritual. Oleh kalangan sufi cinta diistilahkan dengan mahabbah. Dalam tasawuf mahabbah merupakan sebuah maqam (jenjang spiritual yang harus dilalui seorang salik). Setiap hamba memiliki tujuan untuk mendapatkan mahabbah. Oleh sebab itu Imam al-Ghazali menjadikan mahabbah sebagai puncak maqam.
Dalam tasawuf, cinta (mahabbah) dipahami sebagai cinta yang bersifat ilahiah, yakni cinta yang mengarahkan seorang sufi kepada Allah. Cinta ini bukan sekadar cinta emosional atau romantis, melainkan cinta yang murni dan suci, yang menginginkan pertemuan dan persatuan dengan Sang Kekasih Sejati, Allah SWT. Cinta ini menjadi sarana untuk membersihkan hati dari segala bentuk keterikatan duniawi dan egoisme, serta membawa seseorang kepada keadaan fana (lenyapnya diri) dalam Allah.
Para sufi percaya bahwa cinta ini adalah anugerah Allah, yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang berusaha mendekat kepada-Nya melalui ibadah, zikir, dan kontemplasi. Dengan cinta ini, hati menjadi cermin yang memantulkan cahaya Ilahi, sehingga hamba dapat merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan.
Cinta dalam tasawuf bukan hanya tujuan akhir, tetapi juga jalan menuju ma’rifatullah, yaitu pengenalan yang mendalam dan hakiki terhadap Allah. Melalui cinta, seorang sufi memperbaiki diri, membersihkan hati, dan membuka pintu-pintu ma’rifat. Cinta menjadi kunci untuk memahami sifat-sifat Allah, merasakan kehadiran-Nya, dan meraih kedekatan dengan-Nya.
Dalam pengalaman para sufi, cinta kepada Allah sering kali dimulai dengan cinta kepada makhluk-Nya. Dengan mencintai ciptaan Allah baik itu manusia, alam, atau makhluk lainnya seorang sufi belajar untuk mencintai Allah sebagai Pencipta. Namun, cinta ini kemudian berkembang menjadi cinta yang murni dan tak bersyarat kepada Allah, yang melampaui segala bentuk keterikatan duniawi.
Sejarah tasawuf penuh dengan kisah-kisah cinta yang menginspirasi. Salah satu kisah yang terkenal adalah cinta Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi wanita dari Basra, yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk mencintai Allah. Rabiah dikenal dengan syair-syairnya yang penuh dengan kerinduan dan kecintaan kepada Allah, hingga ia tidak menginginkan surga atau pahala, tetapi semata-mata hanya ingin Allah.
Kisah lainnya adalah tentang Maulana Jalaluddin Rumi, seorang sufi dan penyair besar dari Persia, yang dalam karya-karyanya, terutama dalam "Masnawi", sering kali menulis tentang cinta sebagai jalan menuju Tuhan. Rumi menggambarkan cinta sebagai kekuatan yang menggerakkan alam semesta dan sebagai jalan untuk mencapai persatuan dengan Allah.
Ada juga sebuah kisah dari Matsnawi, Jalaluddin Rumi mengisahkan, suatu Ketika Nabi Musa sedang berjalan di padang rumput dan mendapati seorang gembala kambing yang sedang beristirahat sambil berkata: Wahai Tuhanku aku sungguh mencintaiMu. Aku akan melayaniMu sepuas hatiKu. Aku sayang Engkau. Aku ingin sekali membelai dan menyisir rambutMu. Aku ingin sekali menyemir sepatumu. Mendengar perkataan demikian Nabi Musa marah dan menasihati Si penggembala kambing. Wahai penggembala kambing apa yang telah kau katakan telah menodai derajat Tuhan. Kamu tidak pantas berkata begitu, karena Tuhan tidak membutuhkan apa yang kau katakan. Si gembala menyeringai ketakutan. Sambil memohon, penggembala itu berkata: Wahai Nabi Musa engkau yang lebih mengetahui hubungan antara hamba dan Allah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Yang jelas cintaku pada Tuhan melebihi cintaku pada apapun. Musa menjawab: Jika begitu adanya bertobatlah kamu!
Seketika sipenggembala lari menuju hutan dan tidak kelihatan mukanya selama beberapa hari. Beberapa saat kemudian Nabi Musa mendapat teguran dari Allah. Seolah-olah Allah menyalahkan semua tindakan Nabi Musa yang membentak penggembala kambing. Kemudian Nabi Musa mendengar suara tanpa kalimat yang mengatakan:
Wahai Musa engkau telah memisahkan antara Aku dan hambaKu. Pecinta dan Yang diCinta tidak dibatasi oleh kata-kata dan kalimat. Pecinta dan Sang diCinta tidak terikat ikatan hukum dan formalisasi. Datanglah padanya sampaikan salamku untukNya. Berbuatlah sesuka dia. Sesungguhnya Aku sangat mencintai dan ridla padanya.
Mendengar Allah berkata demikian Nabi Musa dengan kontan meminta ampun dan langsung mencari si penggembala kambing ke padang rumput tempat biasa sang penggembala mengembalakan kambingnya. Tetapi Nabi Musa tidak menemukan si Penggembala.
Lama dia mencari hingga berhari-hari hingga ia menemukan si penggembala di dalam hutan dalam keadaan bersedih. Dia merintih sedih tidak bisa meluapkan rasa kasihnya kepada Tuhan. Lalu Nabi Musa mendekatinya. Wahai penggembala kambing sesungguhnya Allah telah berfirman kepadaku. Berbuatlah sesukamu karena Allah mencintai dan ridla kepadamu.
Cinta adalah esensi dari tasawuf. Bagi para sufi, cinta adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk mengenal-Nya dengan lebih dalam, dan untuk mencapai persatuan dengan-Nya. Melalui cinta, seorang sufi melewati berbagai tahap spiritual, hingga mencapai puncak pengalaman mistik, yaitu fana dalam Allah.
Cinta dalam tasawuf mengajarkan bahwa cinta sejati bukanlah tentang memiliki atau dimiliki, melainkan tentang melepaskan segala bentuk keterikatan dan ego, serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Ilahi. Dengan demikian, cinta menjadi jalan yang membawa seorang sufi kepada kedamaian, kebahagiaan, dan kemuliaan sejati di sisi Allah SWT.
Komentar
Posting Komentar