Ciri Khas Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah



Secara garis besar Ahlussunnah Wal Jamaah selalu berpegang teguh pada ajaran Rasulullah dan tiga kurun waktu generasi emas sesudahnya yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in (Ulama Salaf). Dalam ilmu teologi merujuk kepada Abu Hasan Asy'ari abu Mansur Al maturidi, sedangkan dalam disiplin ilmu fiqih mengikuti salah satu dari madzhab empat yaitu Mazhab Syafi'I, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Dalam bidang tasawuf berpedoman kepada ajaran Imam Al Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi.

Yang harus digaris bawahi bahwasannya para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah (aswaja) mengedepankan sikap tawassuth (moderat), seimbang, I'tidal (tegak lurus), dan Tasyamuh (toleran). Apabila menemui seseorang yang ekstrim baik ekstrim kanan ataupun kiri, apalagi berbau radikal dan liberal sudah dipastikan itu bukan ulama aswaja. Oleh karena itu jika kita melihat akhlak dan perilaku para ulama aswaja mereka selalu bijaksana, moderat, dan selalu menhargai pendapat.

Prinsip yang sejak dulu dipegang dan ditanamkan oleh para ulama kepada para santrinya adalah tidak mudah memvonis orang lain dengan tuduhan kafir atau yang biasa disebut kaum takfiri. Hal ini jelas jelas bukan ciri ulama yang sesungguhnya. Apalagi orang yang dituduh tersebut sedah jelas mengucapkan kalimat sahadat dan melaksanakan sholat. Sebagaimana yang telah di utarakan oleh Al-Imam Al-Ghazali dalam kitab beliau Al-Iqtishad fil I’tiqad dan Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Maraqil Ubudiyyah sebagaimana berikut:

وَالَّذِيْ يَنْبَغِي أَنْ يَمِيْلَ الْمُحَصَّلُ إِلَيْهِ الْاِحْتِرَازُ مِنَ التَّكْفِيْرِ مَا وَجَدَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. فَإِنَّ اسْتِبَاحَةَ الدِّمَاءِ وَالْأَمْوَالِ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ إِلَى الْقِبْلَةِ الْمُصَرِّحِيْنَ بِقَوْلِ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ خَطَأٌ، وَالْخَطَأُ فِي تَرْكِ أَلْفِ كَافِرٍ فِي الْحَيَاةِ أَهْوَنُ مِنَ الْخَطَأِ فِي سَفْكِ مَحْجَمَةٍ مِنْ دَمِ مُسْلِمٍ.

Artinya, “Yang seyogianya dibuat simpulan adalah, menjaga diri dari mengafirkan orang lain sepanjang menemukan jalan (takwil) karena sungguh penghalalan darah dan harta Muslim yang shalat menghadap kiblat, yang jelas-jelas mengucapkan dua kalimat syahadat, merupakan kesalahan. Padahal kekeliruan membiarkan hidup seribu orang kafir lebih ringan daripada kekeliruan dalam membunuh satu nyawa Muslim.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, h. 81)

وَلَا تَقْطَعْ اَيْ لَا تَجْزِمْ بِشَهَادَتِكَ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ اَيِ الْمُسْلِمِيْنَ بِشِرْكٍ اَوْ كُفْرٍ اَوْ نِفَاقٍ فَاِنَّ ذَلِكَ أَمْرٌ صَعْبٌ جِدًّا فَإِنَّ الْمُطَّلِعَ عَلَى السَّرَائِرِ هُوَ اللهُ تَعَالَى فَلَا تَدْخُلُ بَيْنَ الْعِبَادِ وَبَيْنَ اللهِ تَعَالَى. قَالَ صلى الله عليه وسلم مَا شَهِدَ رَجُلٌ عَلَى رَجُلٍ بِالْكُفْرِ اِلَّا بَاءَ بِهِ اَحَدُهُمَا اِنْ كَانَ كَافِرًا فَهُوَ كَمَا قَالَ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ كَافِراً فَقَدْ كَفَرَ بِتَكْفِيْرِهِ اِيَّاهُ

Artinya, “Janganlah memastikan kesaksianmu atas orang Islam dengan syirik, kufur atau munafik. Karena sesungguhnya hal tersebut perkara yang sangat berat. Sesungguhnya yang dapat mengetahui beberapa isi hati adalah Allah, maka engkau tidak bisa ikut campur urusan pribadi hamba dan tuhannya. Nabi Saw bersabda, tidaklah seseorang bersaksi kafir kepada orang lain, kecuali vonis kafir tersebut kembali kepada salah satunya. Jika yang dituduh betul kafir, maka benar seperti apa yang dituduhkan. Jika yang dituduh tidak kafir, maka sungguh yang menuduh telah kafir karena mengkafirkan pihak yang dituduh kafir.” (Maraqil Ubudiyyah, h. 69)

Selain itu para ulama didik sejak kecil bahwasannya perbedaan pendapat (khilafiyah) merupakan hal wajar yang seharusnya tidak perlu dipertentangkan. Apalagi dalam hal perbedaan yang bersifat furu’iyyah, tidak pernah mengklaim sesat ataupun fasik. Sebagaimana Syekh Abdul Qahir Al-Baghdadi mengatakan dalam kitab Al-Farqu Bainal Firaq sebagai berikut:

وَاِنَّمَا يَخْتَلِفُوْنَ فِي الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مِنْ فُرُوْعِ الْأَحْكَامِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمْ فِيَما اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنْهَا تَضْلِيْلٌ وَلَا تَفْسِيْقٌ وَهُمُ الْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ

Artinya, “Dan mereka hanya berbeda dalam halal dan haram dari beberapa cabangan hukum. Tidak ditemukan dalam perbedaan di antara mereka vonis penyesatan dan tuduhan fasiq. Mereka adalah kelompok yang selamat,”. (Al-Farqu Bainal Firaq, h. 20) 

Dalam menjalankan visi dakwahnya mereka berdakwah dengan penuh kasih sayang dan kelembutan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah ﷺ. Tidak secara frontal mengharamkan dan memfonis terhadap mereka yang yang berbuat salah. Tetapi mendidiknya dengan bertahap sedikit demi sedikit dalam menuntun masyarakat dan dilakukan dengan kasih sayang. Hal ini tertuang dalam kitab Al-Manhajus Sawi yang dikarang oleh Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith:

وَقَالَ سَيِّدُنَا الْإِمَامُ عَبْدُ اللهِ بْنِ حُسَيْنِ بْنِ طَاهِرٍ نَفَعَ اللهُ بِهِ يَنْبَغِيْ لِمَنْ أَمَرَ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ نَهَى عَنْ مُنْكَرٍ أَنْ يَكُوْنَ بِرِفْقٍ وَشَفَقَةٍ عَلَى الْخَلْقِ يَأْخُذُهُمْ بِالتَّدْرِيْجِ. فَإِذَا رَآهُمْ تَارِكِيْنَ لِأَشْيَاءَ مِنَ الْوَاجِبَاتِ فَلْيَأْمُرْهُمْ بِالْأَهَمِّ فَالْأَهَمِّ. فَإِذَا فَعَلُوْا مَا أَمَرَهُمْ بِهِ انْتَقَلَ إِلَى غَيْرِهِ وَأَمَرَهُمْ وَخَوَّفَهُمْ بِرِفْقٍ وَشَفَقَةٍ مَعَ عَدَمِ النَّظَرِ مِنْهُ لِمَدْحِهِمْ وَذَمِّهِمْ وَعَطَاهُمْ وَمَنْعِهِمْ، وِإِلَّا وَقَعَتِ الْمُدَاهَنَةُ. وَكَذاَ إِذاَ ارْتَكَبُوْا مَنْهِيَّاتٍ كَثِيْرَةً وَلَمْ يَنْتَهُوْا بِنَهْيِهِ عَنْهَا كُلِّهَا، فَلْيُكَلِّمْهُمْ فِيْ بَعْضِهَا حَتَّى يَنْتَهُوْا، ثُمَّ يَتَكَلَّمُ فِيْ بَعْضِهَا حَتَّى يَنْتَهُوْا، ثُمَّ يَتَكَلَّمُ فِيْ غَيْرِهَا وَهَكَذَا

Artinya, “Habib Abdullah bin Husain bin Tahir mengatakan bahwa sebaiknya orang yang menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran melakukannya dengan halus dan penuh kasih sayang kepada makhluk. Mereka menuntunnya dengan bertahap. Apabila masyarakat meninggalkan banyak kewajiban, maka prioritaskanlah mereka dengan kewajiban yang paling urgen. Jika mereka sudah mampu menjalankan satu kewajiban, maka baru berpindah kepada kewajiban yang lain dan memerintahkan serta memberinya peringatan dengan lembut dan kasih sayang dengan tidak mempedulikan sanjungan, cacian dan pemberian mereka. Bila tidak demikian, maka akan terjadi mudahanah (penipuan/ mengambil muka). Demikian pula jika masyarakat melakukan banyak kemunkaran dan tidak dapat meninggalkan keseluruhannya, maka cegahlah sebagiannya sampai mereka mampu meninggalkan. Kemudian beralih pada persoalan lain sehingga mereka meninggalkannya, dan demikian seterusnya.” (Al-Manhajus Sawi, hal. 311-312)

Dan salah satu ciri lainnya yaitu tidak memberontak kepada pemerintah. Karena para ulama sadar bahwasannya tindakan makar atau memberontakan terhadap pemerintah yang sah adalah perbuatan yang terlarang meski pemerintah itu fasik atau zalim. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Al-Imam An-Nawawi:

وَأَمَّا الْخُرُوجُ عَلَيْهِمْ وَقِتَالُهُمْ فَحَرَامٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانُوا فَسَقَةً ظَالِمِينَ.

Artinya, “Adapun keluar dari ketaatan terhadap penyelenggara negara dan memeranginya maka hukumnya haram berdasarkan ijma’ ulama, meskipun mereka fasik dan zalim,” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 12/229).

Umat islam di Indonesia sudah dia ajarkan oleh para ulama sejak dulu untuk selalu berbuat baik dan benar sesuai dengan syara. Sudah sepatutnya sebagai santri kita dituntut untuk selalu merawat dan menjaga agama dan bangsa ini dengan baik dan benar sebagaina yang telah dicontohkan oleh ulama terdahulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Faidah Bersiwak

Membakar Bukhur (Gharu atau Dupa) Sunnah Yang Terlupakan

Keharusan Menghormati Ahlul Bait

Memanggil Dengan Panggilan Yang Baik

Ilmu Tauhid

Memohon Hujan Dengan Bertawasul Kepada Rasulullah

Permasalahan Yang Harus Diketahui Wanita

Sedekah Karena Ridho Allah

Memberi Contoh Yang Baik