Puasa Dalam Pandangan Ilmu Tasawuf



Allah ﷻ memerintahkan manusia untuk berpuasa salah satu tujuannya yaitu menjadikan manusia bertaqwa . sebagaimana firman Allah:

يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ...

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagimu ibadah puasa, sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa...(QS. al-Baqarah, 2: 183)

Didalam Alquran maupun Hadits banyak disebutkan, bahwasanya alasan mengapa orang Islam diperintahkan berpuasa diantaranya agar mereka bertakwa kepada Allah ﷻ, diampuni dosa-dosanya, terjaganya perkataan maupun perbuatan, pengendali hawa nafsu, tubuh menjadi sehat, dan terhindar dari api neraka . Disamping itu seseorang yang melaksanakan puasa menunjukkan bentuk manifestasi keimanan dan ketaatan kepada Allah ﷻ.

Dalam pandangan Syekh Abdul Qodir Jaelani beliau membagi puasa dalam dua kategori, yaitu shaum al-syarî’ah (puasa syariat) dan shaum al-tharîqah (puasa tarekat). Syekh Abdul Qadir Jaelani menjelaskan dalam kitab Sirr al-Asrar bahwa puasa syariat adalah:

أَن يمسك عن الْمأكولات والمشروبات وعن وقاع النساء في النهار

“Menahan diri dari makanan, minuman, dan bersetubuh di waktu siang.” (Sirr al-Asrar, h. 112)

Hal ini berbeda dengan puasa tarekat, Syeikh Abdul Qadir mengatakan:

أن يمسك عن جميع أعضائه المحرّمات والمناهي والذمائم مثل العُجب والكبر والبخل وغير ذلك، ظاهر وباطنا، فكلُها يبطل صوم الطريقة

“Menahan seluruh anggota tubuhnya dari melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan dan dilarang, menjauhi sifat-sifat tercela seperti ujub, sombong, kikir dan selainnya secara lahir dan batin. Setiap melakukan hal-hal tersebut membatalkan puasa tarekatnya.”(Sirr al-Asrar, h. 112)

Melihat definisi di atas dapat kita simpulkan bahwasannya puasa dalam sudut pandang fiqih adalah menahan makan dan minum mulai dari Fajar sampai terbenamnya matahari. Namun menurut sudut pandang tasawuf puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja tetapi menjaga hati agar tidak kotor semisal berbohong, mengadu domba, gibah, bersumpah palsu, mengumbar pandangan yang menimbulkan syahwat, dan lain lain. 

Jika kita telaah lebih dalam mengapa Syekh Abdul Qodir Jaelani mengutarakan hal ini dalam kitab beliau. Hal itu mengajarkan kepada kita bahwasanya puasa bukan hanya dilaksanakan secara syariat saja (memenuhi syarat dan rukun), tapi juga dari sisi tasawuf (pengkondisian hati) juga diperhatikan. Dengan kata lain belajar mengolah dan menata hati saat berpuasa, inilah yang menjadi poin utama . 
Mengapa puasa diwajibkan bagi umat Islam? sebagaimana dalam surat al-baqarah [2: 183] di atas. Sehubungan dengan hal itu kita dituntut untuk mencapai derajat taqwa. Seseorang dikatakan orang bertaqwa prosesnya tidak hanya sebatas melaksanakan syariat saja (yang bersifat pokok), tetapi disempurnakan dengan ilmu yang lainnya dan dilakukan secara bertahap. mulai dari muslim jadi mukmin berlanjut muhsin setelah itu Muttaqin (bertakwa).

Perbedaan mendasar antara puasa syariat dan puasa tarekat yaitu, puasa syariat kita menahan diri dari apa saja yang membatalkan puasa serta memenuhi syarat dan rukunnya. Namun puasa tarekat menitikberatkan kepada tazkiyatun nufûs (penjernihan diri) dan tashfiyyatul qulûb (pembersihan hati) dengan kata lain penguatan dalam hal spiritual. Rasulullah ﷺ pernah berpesan:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ

“Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar, dan betapa banyak orang yang bangun malam (untuk beribadah) yang tidak mendapatkan dari bangun malamnya kecuali begadang.” (HR Imam Ibnu Majah)

Hal ini yang dikhawatirkan oleh Rasulullah ﷺ, karena kesempurnaan dalam ibadah perlu di perhatikan. Secara lahiriyah terlaksana, batiniahnya juga tercukupi. Oleh karena itu ada pula ungkapan, “Banyak yang berpuasa, tetapi berbuka. Banyak yang berbuka, tetapi berpuasa.” Artinya, orang yang perutnya tidak berpuasa, tetapi ia menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan terlarang dan tidak menyakiti orang lain. Sebagaimana Allah ﷻ berkata dalam hadits qudsi:

إِنَّ الصَّوْمَ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ (رواه مسلم

 “Puasa itu untukku dan Akulah yang akan membalasnya.” (HR. Muslim)

Dapat kita ambil kesimpulan, bahwasannya dalam berpuasa kita harus mempertimbangkan aspek ruhaniah juga, tidak sekadar melihat apa saja yang membatalkan puasa secara hukum. Boleh jadi puasa kita sah secara hukum karena berhasil memenuhi syarat danrukunya serta menjauhi hal hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan lain lain. Namun apakah kita benar-benar berhasil mengambil manfaat puasa untuk hidup kita, dan melestarikan penahanan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Allah ﷻ.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Faidah Bersiwak

Membakar Bukhur (Gharu atau Dupa) Sunnah Yang Terlupakan

Keharusan Menghormati Ahlul Bait

Memanggil Dengan Panggilan Yang Baik

Ilmu Tauhid

Memohon Hujan Dengan Bertawasul Kepada Rasulullah

Permasalahan Yang Harus Diketahui Wanita

Sedekah Karena Ridho Allah

Memberi Contoh Yang Baik