Selalu Bertanya “Dimana Dalilnya?”




Sering kita temui sanggahan " ada hadisnya gak?" "dalilnya mana?". Pernyataan seperti ini cenderung meremehkan fiqih dengan alasan "itu kan pendapat ulama! sebagai manusia kan ada salahnya?". Berhati-hati dalam beragama memang penting tetapi mendasarkan semua perbuatannya pada dalil justru naif. Bagaimana tidak, setiap mau beraktivitas membutuhkan dalil untuk landasannya. Kita terkadang heran di setiap mau berbuat baik dikuatkan dengan dalil, sedangkan untuk menjelekkan orang kita nggak pernah menanyakan "dalilnya mana?".

Sebagai muslim bukannya mengenyampingkan Alquran maupun hadis nabi ﷺ sebagai sumber utama dalam agama. Tentu saja tetap berpegang teguh pada Alquran dan sunnah nabi ﷺ, tetapi tentunya kita harus paham betul bahwasannya tidak semua sisi-sisi kehidupan bisa selesai dengan pernyataan "Dalilnya mana?” Lantas, ukurannya apa? Jika kita menelaah ilmu Ushul fiqihada sebuah kaidah:

الأَصْلُ فِى اْلعِبَادَةِ اَلتَّحْرِيْمُ وَالْبَطْلُ إِلاَّ مَا جَاءَ بِهِ الدَّ لِيْلِ عَلىَ اَوَامِرِهِ

“Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang memerintahkan”

Dan sebaliknya,

الأَصْلُ فِى المُعَامَلَات الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا

Pada dasarnya, segala bentuk interaksi manusia muamalat boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. 

Selama apa yang kita perberbuat tidak menyalahi aturan agama tentunya sah sah saja kita lakukan. Allah telah mengangkat hal-hal yang memberatkan bagi manusia. Ada dalam sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan: 

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ  

Artinya, “Sesungguhnya agama itu mudah. Dan selamanya agama tidak akan memberatkan seseorang melainkan memudahkannya. Karena itu, luruskanlah, dekatilah, dan berilah kabar gembira! Minta tolonglah kalian di waktu pagi-pagi sekali, siang hari di kala waktu istirahat dan di awal malam,” (HR. al-Bukhari [39] dan Muslim [2816]).

Maksud hadis ini ialah syariat yang Allah turunkan kepada umat Baginda Nabi Rasulullah ﷺ mudah dan tidak sulit. Sehingga ia tidak memaksa seorang hamba kecuali sesuai kemampuannya. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ  

Artinya, “Allah menghendaki kalian kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan,” (Q.S. al-Baqarah [2] : 185).

Berislam itu tidak hanya selesai dengan sederet pertanyaan “Dalilnya mana?” tetapi wajib hukumnya berislam dengan guru sebagai pembimbing dengan tujuan agar kita bisa mencerna dan mengamalkan ajaran agama sesuai kadar dan porsinya. Dua mutiara yang ditinggalkan oleh Baginda Rasulullah ﷺ yaitu Alquran dan hadis merupakan bahan dasar (pijakan utama). Oleh para ulama Salaf diolah dan diperinci lagi kepada umat agar dapat diamalkan dengan baik. Berupah tafsir, syarah, kaidah ushul, hasil ijtihad, dan lain lain. Ada juga yang menjadi sub pembahasan  ilmu dalam Islam seperti aqidah, fiqih, dan tasawuf. Semua itu diperas dari intisari Alquran dan hadis nabi ﷺ. Untuk mengolahnya dibutuhkan ilmu dan tidak semua orang memiliki hal itu. Oleh karenanya diperlukan guru yang mampu mengupas dan menjelaskan makna dari Alquran dan hadis yaitu para ulama. Imam as-Syathibi mengutarakan dalam kitabnya:

فتاوى المجتهدين بالنسبة إلى العوام كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى المجتهدين

Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid. (al-Muwafaqat, hal. 5/ 336).

Alquran dan sunnah nabi ﷺ bisa berguna dan bermanfaat jika berada di tangan ahlinya yaitu para ulama. Dalam mengolah ayat maupun hadis menjadi sebuah produk hukum membutuhkan keahlian khusus dan tidak semua orang bisa melakukannya. Apalagi jika bermoral sedikit bahasa Arab dan mengikuti pengajian mingguan.

Oleh karena itu pernyataan "mana dalilnya?" merupakan pernyataan yang keliru, dikarenakan orang awam tidak butuh dalil. Yang mereka butuhkan adalah sebuah hasil hukum sudah di Jelaskan secara gamblang oleh para ulama. Yaitu mereka yang mempunyai mata rantai sanad yang jelas sampai kepada Imam mazhab yang bersumber dari Rasulullah ﷺ. Jadi pernyataan yang tepat yaitu “siapa gurumu yang mengajari itu?”. Jika ia menjawab "Rasul!!" pertanyaan itu sangat keliru karena yang namanya berguru syaratnya bertemu. Apakah dia pernah bertemu langsung kepada rasul jelas tidak. Oleh karena itu berguru itu sangat penting dalam agama sebagai penerus mata rantai sanad sampai Rasulullah ﷺ. Imam asy-Syatibiy, juga menjelaskan:

والدليل عليه أن وجود الأدلة بالنسبة إلى المقلدين وعدمها سواء؛ إذ كانوا لا يستفيدون منها شيئا؛ فليس النظر في الأدلة والاستنباط من شأنهم، ولا يجوز ذلك لهم ألبتة

Dasarnya adalah ada dan tidaknya dalil bagi orang awam itu sebenarnya sama saja. Karena mereka belum bisa mengambil faedah dari dalil-dalil itu. Menganalisis dalil-dalil syar’i bukanlah tugas mereka. Bahkan tidak boleh sama sekali mereka melakukan itu. (al-Muwafaqat, hal. 5/337)

Memang konstruksi dari nalar keilmuan modern mensyaratkan bukti empiris atau kevalidan referensi, setidaknya dalam bentuk teks. Namun celakanya, secara tidak langsung hal ini memisahkan antara akal-rasionalitas di satu sisi, lantas memasukkan intuisi dan empati manusia ke dalam sisi yang lain. Akibatnya, ketika seseorang bertemu dengan satu peristiwa baru, secara otomatis peristiwa ini bakal diukur dengan nalar modern itu, termasuk dalam beragama. Bagaimana mungkin beragama cuma diukur memakai kepala?  Padahal, dalam beragama juga melibatkan kerja hati, sensitifitas rasa, dan ketajaman intuisi. Jika beragama diukur menggunakan nalar aja tidak akan menjadikan seseorang menjadi paham ilmu agama. al-Khathib al-Baghdadi mengutarakan dalam kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih sebagai berikut:

وَلْيَعْلَمَ أَنَّ الْإِكْثَارَ مِنْ كُتُبِ الْحَدِيثِ وَرِوَايَتِهِ لَا يَصِيرُ بِهِ الرَّجُلُ فَقِيهًا, وَإِنَّمَا يَتَفَقَّهُ بِاسْتِنْبَاطِ مَعَانِيهِ, وَإِنْعَامِ التَّفْكِيرِ فِيهِ

“Ketahuilah, memperbanyak kitab-kitab hadits dan riwayatnya tak menjadikan seseorang menjadi paham ilmu agama. Namun yang menjadikan dia paham adalah ber-istinbath terhadap maknanya dan memikirkannya secara mendalam.” (al-Faqih wa al-Mutafaqqih, 2/ 159)

Jadi untuk memahami agama bukan hanya memperbanyak refrensi dari Alquran maupun hadits nabi ﷺ, Perlu kemampuan komplit! tak cukup hanya membaca lahiriah teks atau terjemahannya. Dan jangan mudah menyalahkan amaliah orang lain. Bisa jadi yang diamalkannya berdasarkan dalil yang kita tidak ketahui. Begitupun sebaliknya, jangan sampai pengetahuan kita membuat kita gemar menyalahkan amaliah orang lain. Sebab, apa arti berilmu jika tidak membuat kita rendah hati, dan apa arti berilmu jika membuat kita menyombongkan diri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Faidah Bersiwak

Membakar Bukhur (Gharu atau Dupa) Sunnah Yang Terlupakan

Keharusan Menghormati Ahlul Bait

Memanggil Dengan Panggilan Yang Baik

Ilmu Tauhid

Memohon Hujan Dengan Bertawasul Kepada Rasulullah

Sedekah Karena Ridho Allah

Musibah Menghapus Dosa

Jangan Menzalimi Saudara Sesama Muslim